Rabu, 30 Desember 2015
Papa & Malam Tahun Baru
Minggu, 22 November 2015
Bom Waktu
Selasa, 03 November 2015
Senandung Kehidupan
Hidup itu bukan soal bangun tidur di pagi hari, pergi ke kampus atau ke kantor, lalu pulang ke rumah dan istirahat.
Hidup itu bukan soal mendapat kebahagiaan dengan memiliki uang banyak dan kerabat di mana-mana.
Hidup itu bukan soal memiliki masalah lantas mencari solusi yang berlawanan dengan arah jarum kompas.
Hidup tidak sehedon itu.
Hidup tidak semonoton itu.
Hidup itu bagai peri kecil bersayap patah di tengah lebatnya ilalang yang tinggi.
Berteman sepi, seorang diri.
Ingin terbang namun tidak bisa.
Ingin berjalan namun banyak semut dan serangga jahat di sekitarnya.
Tidak memiliki kemampuan untuk melawan.
Selalu terjatuh setiap kali ada lubang dalam yang tidak terlihat.
Demi keluar dari ilalang tersebut, mau tidak mau harus terus berjalan.
Bahkan tidak jarang sesekali sang peri harus memanjati dahan ilalang hingga berada di atas pucuk demi melihat apakah jalan keluarnya sudah dekat ataukah masih jauh?
Peri kecil malang yang harus terus berjalan dengan penuh kehati-hatian.
Terkadang ia merasa lelah, terkadang ia merasa haus dan lapar.
Hingga malam tiba, sinar matahari yang tadinya menyusupi sela-sela ilalang kini sirna.
Gelap datang.
Nyanyian sang burung di kala cerahnya hari tergantikan oleh gemuruh angin yang kencang.
Dingin, hampa dan mencekam.
Peri kecil perlu beristirahat, agar ketika sang fajar tiba, ia sudah memiliki cukup energi untuk melanjutkan perjalanan.
Ketika sang penerang bumi terbit, peri kecil terbangun.
Untuk sesaat ia termenung cukup lama, mengingat mimpinya semalam yang masih tergambar jelas dalam benaknya.
"Dengarlah, ketika dewasa nanti... Kamu akan bertemu begitu banyak hal yang sulit untuk kamu pahami. Akan tiba masa dimana kamu harus berjuang melawan kerasnya kehidupan. Berperang pada bisikan hati dan akal. Hanya kamu yang tahu manakah jalan yang terbaik. Hanya kamu yang bisa memutuskannya. Ketika kamu berhasil melalui segalanya, kamu akan sadar bahwa senandung kehidupan itu sungguh merdu. Bahkan menjadi simfoni dengan alunan melodi yang indah. Teruslah berjalan, teruslah berjuang, kamu tidak sendiri. Ada aku disini." Ratu peri yang cantik mengelus pelan kepala sang peri kecil bersayap patah.
Mimpi yang indah.
Mimpi yang sangat indah, hingga tangisnya memecah atas kerinduannya pada sang Ratu.
Sang peri kecil berdiri dengan penuh semangat, sesekali ia merasakan sakit yang hebat dari bagian sayapnya yang patah.
Kini ia sadar,
Ketika ia terbang tinggi, dengan mengepakkan sayap lebarnya di udara... Bukan berarti dia yang paling hebat. Masih ada burung-burung yang lebih besar bahkan terkadang usil menabraknya kencang hingga akhirnya ia terjatuh dan membuat sayapnya patah.
Kini ia sadar,
Ketika ia sedang berada di antara awan-awan cantik seputih kapas ia harus ingat bahwa masih ada langit biru yang luas lagi di atas sana.
Kini ia sadar,
Kebahagiaan yang abadi itu bukan sekedar memiliki sayap.
Kebahagiaan yang abadi itu bukan merasa paling berjaya ketika diatas awan, lalu melirik ke daratan, melihat semua yang ada dibawah bagai partikel-partikel kecil yang tidak berarti.
Ia sadar, makhluk-makhluk yang ada di daratan pun melihatnya begitu kecil dan tidak berarti ketika di atas sana.
Kebahagiaan yang abadi adalah...
Ketika ia terus melangkahkan kaki kecilnya demi mencari celah untuk keluar dari ilalang lebat yang mengerikan.
Ketika ia berhasil menahan lapar dan haus.
Ketika ia berhasil menahan sakit dari luka yang ada pada sayapnya.
Ketika ia berhasil menjinakkan serangga mengerikan sekalipun.
Hingga akhirnya...
Ia menemukan cahaya terang, terang teramat terang yang selama ini ia rindukan.
Hingga akhirnya...
Ia berhasil keluar dari ilalang-ilalang itu.
Hingga akhirnya...
Ia tahu inilah kebahagiaan yang abadi.
Manakala ia tahu bahwa nestapanya tlah terbalas.
Dengan kegigihannya melewati perjalanan yang panjang, sayap patah itu di gantikan Ratu peri dengan sayap cantik yang memiliki sinar berwarna-warni di setiap sudutnya.
Sayap indah yang ketika dikepakkan akan mengeluarkan butiran-butiran yang berkilau.
Kebahagiaan adalah;
Ketika kamu bersyukur atas apa yang kamu miliki.
Ketika kamu tetap tersenyum tulus dan segera bangkit dari kegagalan.
Ketika kamu sadar Allah itu lebih dekat daripada nadi.
Ketika kamu percaya atas kemampuan diri sendiri, tanpa perduli apa yang orang bilang tentang kamu.
Ketika kamu yakin, Allah tidak pernah membebani umat-Nya melebihi batas kemampuannya.
Hidup itu sebentar,
Amat sebentar bagi mereka yang menyia-nyiakan waktu.
Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi seseorang yang lebih baik.
Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan dan kembali mengharmonisasikannya.
Tidak ada kata terlambat untuk mencari ilmu yang bersembunyi. Meski harus mencarinya sendirian.
Ingatlah 3 hal ini, Allah selalu memiliki jawaban atas do'a-do'a hambaNya:
1. Ya!
2. Bukan sekarang
3. Tidak! Aku punya sesuatu yang lebih baik dari yang kau minta.
Jangan larut dalam tangismu, kesempatan masih ada untuk mereka yang mau bangkit kembali dari kegagalan. Buatlah hidupmu yang sebentar ini menjadi senandung kehidupan yang indah dan berarti.
Salam semangat, Elna Maisella!
Twitter: @elnamai
Instagram: imelna
Path: Elna Maisella
Facebook: Elna Maisella
Email: emaisella@yahoo.com
Jumat, 30 Oktober 2015
KEMBALI BERAPI-API
Assalamu'alaikum!
Apa kabar semuanya? It's been a long time gak ngetik-ngetik unyu lagi, hehehe.
Well, first of all... Kecelakaan pesawat Trigana Air pada tanggal 16 Agustus 2015 lalu yang jatuh di pegunungan Okbape, Papua, dan menimpa para sahabat kru kami dan juga penumpang lainnya masih meninggalkan gambar bisu tak bersuara di otakku dan mungkin tidak akan pernah bisa di lupakan...
(Aku dan Alm. Dita saat masih di Caraka dan sudah di Trigana)
Seluruh kru yang ada di dalam pesawat itu, Kapten Hasanuddin, Co-pilot Mas Ariadin, FE Mas Mario, FA1 Mbak Ika, dan sahabat seperjuanganku FA2 Dita. Mereka semua lebih dari sekedar rekan kerja bagiku. Aku mengenal baik mereka semua, mereka sudah kuanggap seperti keluarga kedua, termasuk Dita... Sahabatku sejak kami masih menjalani pendidikan Pramugari di Caraka Nusantara Semesta hingga kami bisa kembali dibersamakan Allah untuk bekerja menjadi seorang Awak Kabin di Trigana Air Service. Rasanya kalau diingat-ingat kembali, seperti mimpi dan aku berharap aku segera terbangun dari mimpi buruk ini. Namun itulah Takdir Allah... Tidak bisa ditentang. Tidak bisa ditolak. Dan tidak ada satupun yang mengetahui apa yang akan terjadi sedetik kemudian. Sesungguhnya, semua yang terjadi di dalam hidup ini tentu meninggalkan hikmah yang pastinya bermanfaat untuk kita semua... Hanya kitanya saja, apakah sudah mempersiapkan bekal terbaik untuk dibawa pulang ke hadapan-Nya.
Wallahu'alam.
Anyway,
Perjuanganku menjadi seorang Pramugari tidak menghentikan langkahku sampai disini.
Nyaris 3 tahun sudah aku terbang tinggi mengangkasa bersama Trigana Air Service. Bertemu dengan penumpang silih berganti. Bahkan terkadang, mereka yang setia terbang bersama Trigana sering menyapaku ketika mereka menjumpaiku lagi di pesawat. Mungkin tanpa sengaja Flight mereka selalu berbarengan saat aku on duty, hihihi.
Okay, aku akan berkata jujur sekarang. Baiklah... Aku harus siap! Aku siap melambaikan tangan, mengucapkan perpisahan pada teman-temanku di Trigana. 1 Desember 2015 yang akan datang, aku resmi bukan lagi seorang Awak Kabin pada perusahaan tercinta ini. Ya! Memang! Memang sungguh menguras tenaga dan pikiran untuk mengumpulkan keyakinan dan kemantapan hati bahwa aku memang benar-benar siap untuk mengundurkan diri dari perusahaan ini. Kenapa? Kenapa aku harus mundur? Bukankah ini cita-citaku? Bukankah ini yang aku nanti-nantikan sejak aku masih kecil? Lalu kenapa? Perang bathin itulah yang terus membuat aku harus menentukan keputusan terbaik.
Tepat pada tanggal 26 Oktober 2015, ba'da dzuhur aku dan keponakanku Tasya Fetriza berangkat dari rumah menuju kantor Trigana. Setelah memanasi mobil, mengisi air radiator, aku dan Tasya pamit pergi dengan ibuku. Siang itu, keponakanku yang juga mengikuti pendidikan pramugari di Caraka akan di interview bersama Chief dan Instrukturku dan bersamaan dengan pengajuan surat Resign-ku.
(Aku dan Tasya di Kantor Trigana)
Sesampainya di kantor, aku bergegas menuju lantai 2 bersama Tasya. Ku dapati sekitar 5 sampai 6 calon pramugari atau mungkin lebih yang sedang duduk menunggu giliran dipersilakan untuk interview. Seketika, di kepalaku seperti terputar kembali video dokumenter masa-masa 3 tahun lalu dimana aku dan teman-temanku yang lain sedang duduk, menunggu dan gelisah untuk di panggil interview satu per satu. Kemudian perang bathin itu kembali bergejolak, "Elna... Kamu betul-betul siap untuk mengambil keputusan ini?" YA! AKU SIAP KOK!
Setelah Tasya berkumpul dengan pelamar yang lain, aku meninggalkannya dan menuju ke ruangan milik temanku. Aku berniat meminjam komputernya untuk mengetik surat resign yang nantinya akan ku berikan kepada Chief FA ku. Aku pun mulai mengetik.
Tangan ini tiba-tiba saja gemetar, gemetar karena menahan air mata yang hendak tertumpah. Gemetar karena setiap karyawan dan pegawai yang berlalu lalang menyapaku dengan ramah. Aku tahu, tidak lama lagi aku akan merindukan suasana bersahabat ini. Gemetar karena teman-temanku yang saat itu sedang dikantor shock mengetahui aku akan resign. Gemetar karena tidak kuat, tidak kuat dengan pertanyaan-pertanyaan "Mengapa? Kenapa? Ada apa, Na?" yang di lontarkan teman-temanku yang saat itu berada di kantor juga. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya memohon do'a dari mereka semua agar aku bisa sukses melanjutkan perjalanan hidupku. Begitupun do'aku sebaliknya untuk teman-teman di Trigana. Aamiin Allahumma Aamiin...
Selesai mengetik, sembari menunggu temanku si pemilik ruangan ini pulang dari makan siang untuk membantuku mem-print surat Resign, aku turun ke mushalla. Karena memang aku belum melaksanakan shalat dzuhur di rumah. Selesai berwudhu, aku masuk ke mushalla, memakai mukena yang sudah disediakan disana. Aku mulai membaca niat shalat. Tanpa terasa, baru saja kujalani rakaat pertama, pipi ini sudah dibasahi oleh air mataku yang sejak tadi ku tahan. Aku menangis. Ternyata separuh hati ini masih belum siap mengucapkan selamat tinggal. 3 tahun berlalu begitu cepat. Sangat cepat hingga aku bisa menghitung mundur dari hari ini hingga 1 Desember nanti.
Selesai shalat aku berdo'a,
"Ya Allah, keputusan yang aku buat ini adalah niat baikku untuk melanjutkan perjalanan hidupku. Terima kasih atas kesempatan yang engkau berikan pada hamba. Sungguh ini akan menjadi pengalaman dan pelajaran berharga yang kelak akan ku bagikan pada anak cucuku jika engkau masih mau memberiku umur yang panjang. Aku memohon kepadaMu ya Allah, permudahkanlah langkahku untuk mendapatkan ridhaMu. Aku ingin, ingin sekali bisa terbang dan memiliki pengalaman indah lainnya yang mungkin bukan disini ya Allah, tapi di tempat lain. Dimana aku bisa menjelajahi berbagai negara dan kota lainnya yang telah engkau ciptakan. Sungguh keinginanku ini semata-mata tidak akan terlaksana tanpa Ridha dariMu ya Allah... Aku hanya ingin membahagiakan orang tuaku yang kini tinggal ibuku semata. Aku ingin selalu bisa mengukir senyum di wajahnya. Bagiku, senyum bahagia dari ibuku adalah Piala. Piala karena ia bangga memiliki anak sepertiku. Bantulah hamba ya Allah... Hanya engkau yang dapat mengabulkan do'a-do'a ini. Aku berharap niat baikku ini, baik pula di mataMu Ya Allah. Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah, wa fiil aakhirati hasanah, wa kinnaa azabannaar. Aamiin ya Rabbal alamiin.."
Aku menghapus air mataku, melihat wajahku dari layar ponsel milikku. Berharap tidak ada yang mengetahui bahwa aku baru saja menangis.
Usai shalat, aku kembali menuju lantai 2 dan duduk di ruang kerja milik temanku. Tidak lama kemudian, ia kembali setelah makan siang.
"Udah, Na?"
"......"
"Saya print yaa..." Lanjutnya,
"Makasih yaa..." Ucapku pelan dengan air mata yang kembali ingin tumpah.
Setelah Tasya dan semua pelamar selesai di wawancarai, kira-kira tepat pada pukul 15.00 aku masuk menuju crew room dan mendapati Chief ku dan Instrukturku sedang berbincang, mungkin masih membahas pelamar-pelamar yang tadi di interview oleh mereka. Memang, beberapa hari sebelumnya aku sudah bercerita pada chief dan instrukturku bahwa aku memutuskan untuk resign pada awal Desember nanti. Namun baru hari ini ku berikan surat resign kepada Chief-ku.
Sempat mengobrol sedikit, membahas setelah ini aku akan kemana? Melakukan apa? Atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dimana? Memang sejujurnya, aku tidak akan resign tanpa persetujuan ibuku. Ibuku sendiri yang meminta agar aku resign dan di rumah dulu membantunya mengurus usaha kost-kostan milik almarhum Ayahku yang ada di Kuningan, Jawa Barat. Bahkan sempat menawarkanku untuk melanjutkan sekolah pilot di sekolah milik Trigana juga, yaitu Genesha Flight Academy. Bagiku, selama itu permintaan ibuku... Tentu akan ku lakukan sepenuh hati. Selama itu tidak membebani ibuku.
Usai mengobrol-ngobrol, aku dan Tasya langsung pulang ke rumah. Di jalan kami ngobrol banyak. Tasya cerita tentang bagaimana dia di interview tadi. Begitu juga aku, cerita ini dan itu sambil tetap fokus mengendarai mobil dan sampai akhirnya tidak terasa mobilku sudah berhenti di depan rumahku.
Well, saat ini aku masih memiliki kesempatan untuk terbang bersama Trigana hingga akhir November 2015 nanti. Aku akan berusaha memberikan yang terbaik di hari-hari terakhirku bersama Trigana Air Service.
Trigana Air Service, maskapai yang memiliki rasa kekeluargaan tinggi dengan tetap memiliki satu tujuan yang sama, sifat profesionalitas yang dimiliki seluruh karyawan, serta kebersamaan dan pelajaran yang dengan tulus dibagikan ke setiap rekan kerja.
Aku, Elna Maisella.
Kembali berapi-api. Api semangat ini tidak akan pernah padam. Demi menaiki anak tangga berikutnya. Demi membuka tirai yang menutupi setiap jendela. Demi menyalakan lentera yang akan menerangi ruang-ruang di hadapanku. Demi mencari keajaiban lain yang telah Allah siapkan untukku. Demi membuat grafik hidup tetap menanjak tanpa meninggalkan kewajiban yang Allah tetapkan. Dan tentunya, semua ini ku lakukan untuk membuat hidupku yang sementara dan singkat ini menjadi berarti walau banyak duri yang menancap. Batu-batu yang nakal di sepanjang jalanku. Karena aku tahu, setiap kesedihan dan kebahagiaan yang ku lalui, harus dan wajib aku syukuri. Dengan begitu, perlahan dan pasti aku akan mengetahui maksud yang Allah berikan mengapa aku di ciptakan, untuk apa pula aku di ciptakan. Yaitu demi mengejar Ridha-Nya. Menjaga agar pilar iman dan takwa ku tetap berada pada posisi tegak lurus menuju surga Firdaus-Nya.
Bismillah,
Dengan menyebut namaMu ya Allah,
Aku siap melangkahkan kaki ku menuju jalan terbaik yang telah engkau siapkan untukku. Aku siap untuk kembali menyelami dalamnya lautan kehidupan dengan berbagai rintangan penuh misteri yang mungkin akan membuatku sakit dan menangis. Namun aku tahu, tangisan ini akan digantikan dengan hadiah termanis yang telah engkau siapkan untukku, ya Allah. Aku yakin dan bisa merasakan belaian lembut dari tanganMu.
Temen-temen,
Aku bakal tulis cerita lainnya lagi yang semoga saja bisa menghibur dan jadi inspirasi buat temen-temen semua (aamiin). Pasti nanti aku ceritain lagi setelah ini apa aku akan tetep jadi seorang Awak Kabin di maskapai lain, atau Penerbang, atau membangun usaha kecil-kecilan, atau mungkin ngelanjutin Kuliah?
Bye semuanya...
Mohon do'a restu ya! Do'akan agar Allah memberikan yang terbaik untukku ya.
Makasih semuanya karena udah mau meluangkan waktunya membaca ceritaku!
Assalamu'alaikum wr.wb.
Twitter: @elnamai
Instagram: imelna
Path: Elna Maisella
Facebook: Elna Maisella
Email: emaisella@yahoo.com